Sahabat ID (Inovasi Dakwah)
Dalam diri seorang ibu terdapat
kebahagiaan, segala macam kebahagiaan. Seolah dalam diri anaknya
tersimpan dunia dan segala kesenangannya. Ia tidak melihat dunia selain
pada anaknya! Namun, kebahagiaan itu telah berlalu. Ia adalah anak
semata wayang, sedang si ibu seorang diri! Ibu dan anaknya hidup
sebatang kara tanpa saudara atau kerabat.
Suaminya meninggal tanpa mewariskan
kekayaan apa pun, selain gubuk kecil dari tanah liat uang terletak
dipinggir perkampungan lama di ibukota Riyadh. Di dalam gubuk itu tidak
tersimpan perabot rumahtangga, selain barang-barang di mana bila Anda
melihatnya sekilas, Anda akan mengerti barang-barang tersebut hanya
dipergunakan oleh mereka yang hidup 20 tahun silam. Orang yang hidup di
zaman ini akan jijik untuk sekedar duduk di atasnya, karena busana
mereka lebih bersih dari hatinya.
Berbeda dengan orang zaman dahulu, mereka
memiliki kalbu yang lebih bersih dibanding pakaian yang melekat di
badan. Harta satu-satunya yang ditinggalkan suaminya adalah seorang bayi
laki-laki yang usianya baru beberapa bulan. Harta miliknya hanya sebuah
gubuk dari tanah liat dan bayi yang parasnya seperti fajar yang sedang
duka, ditambah santunan tahunan yang tidak seberapa besarnya. Dengan
uang santunan yang disebut ‘tunjangan sosial’ itulah sang ibu hidup dan
menghidupi bayinya. Sisanya disimpan untuk menghadapi masa-masa sulit.
Sang ibu membesarkan anaknya hingga tiba
saatnya si kecil bersekolah. Di hari pertamanya, ia berangkat ke sekolah
dengan membawa tas kecil di atas kepala. Ia tampak keberatan, meski di
dalam tas kecil itu hanya terdapat Juz ‘Amma, buku belajar membaca,
berhitung, dan sebuah pensil, ditambah sepotong roti kering sebagai menu
sarapan pagi. Ketika berjalan, ia terllihat seolah menyeret sehelai
jubah yang menutupi topi kecil di atas kepalanya yang mungil!
Sang ibu meneteskan air mata bahagia
mengantar kepergian si buah hati menyongsong masa depannya. Setiap hari
ia mengantar kepergian si kecil ke sekolah dengan berjalan kaki dan
menunggu dengan sabar sampai anaknya pulang sekolah. Ia menyambut
kedatangan anaknya dengan ciuman di kedua pipi, membawakan tasnya dan
menggandeng pulang ke rumah di bawah terik matahari. Kebahagiaan ibu
meluap-luap saat mendengar pengumuman kelulusan anaknya dari sekolah
dasar, memberitahukan kepada setiap orang yang ditemuinya di jalan,
bahwa anaknya lulus dan tengah mengantongi ijazah.
Beberapa tahun berlalu. Saat ini si anak
telah menamatkan kuliahnya dan meraih gelar sarjana dari universitas
paling bergengsi di ibu kota negeri ini. Sang ibu masih hidup berdua
dengan buah hatinya di dalam gubuk tanah liat. Suatu hari, sang ibu
merasa amat berbahagia bercampur derita dan harap. Pasalnya tidak lain
karena buah hatinya akan berpisah dengannya dan meninggalkan negeri
tercinta untuk melanjutkan studi di Barat. Kelak, usai menamatkan studi,
ia akan memperoleh ijazah tertinggi. Hati sang ibu hampir-hampir runtuh
karena tangis, saat anaknya menutup pintu mobil sewaan yang akan
mengantarnya ke bandara ibukota Riyadh dan akan berpisah dengan ibunya
selama enam tahun!
Sang ibu tidak bisa mengetahui kabar
anaknya selain melalui surat yang ditulis dan dikirimkannya dengan
bantuan para tetangga. Setiap malam menjelang, ia mendekap foto anaknya
yang menghiasi lembaran ijazah sekolah dasarnya, membasahinya dengan
airmata hinggaia terlelap tidur, berharap dapat bertemu sang buah hati
dalam mimpi! Demikianlah keadaan sang ibu sepanjang tahun-tahun
perpisahan dengan anaknya; di bawah lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala!