Sahabat ID (Inovasi Dakwah)
Di dalam rumah tangga terdapat hubungan dan keterkaitan hak dan kewajiban antara suami dengan istri, hak dan kewajiban ini diletakkan secara seimbang dan sejajar di antara suami istri, rumah tangga akan berjalan dan mengalir dengan baik dan lancar jika hak dan kewajiban ini dilaksanakan dan ditunaikan dengan benar dan konsekuen oleh suami dan istri, sebaliknya jika ada pihak dalam rumah tangga yang melalaikan kewajibannya maka secara otomatis ada pihak yang pasti merasa haknya terabaikan, dalam situasi seperti ini rumah tangga sangat riskan terhadap konflik dan perseteruan, penyebabnya adalah ketidakselarasan yang terjadi dalam hak dan kewajiban di antara suami dengan istri.
Di dalam rumah tangga terdapat hubungan dan keterkaitan hak dan kewajiban antara suami dengan istri, hak dan kewajiban ini diletakkan secara seimbang dan sejajar di antara suami istri, rumah tangga akan berjalan dan mengalir dengan baik dan lancar jika hak dan kewajiban ini dilaksanakan dan ditunaikan dengan benar dan konsekuen oleh suami dan istri, sebaliknya jika ada pihak dalam rumah tangga yang melalaikan kewajibannya maka secara otomatis ada pihak yang pasti merasa haknya terabaikan, dalam situasi seperti ini rumah tangga sangat riskan terhadap konflik dan perseteruan, penyebabnya adalah ketidakselarasan yang terjadi dalam hak dan kewajiban di antara suami dengan istri.
Dalam praktek di lapangan yang sering menjadi obyek sasaran dengan
diabaikannya hak-haknya adalah istri, hal ini disebabkan –salah satunya-
oleh kelemahan dari sisi fisik dan kelembutan dari sisi tabiat yang ada
pada istri sebagai seorang wanita, sehingga hal ini sering dimanfaatkan
oleh sebagian laki-laki yang buruk untuk menzhaliminya dengan tidak
menunaikan sebagian dari hak-haknya atau seluruh hak-haknya. Seorang
laki-laki datang kepada al-Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku memiliki
seorang anak perempuan, kepada siapakah aku menikahkannya?’ Al-Hasan
menjawab, “Nikahkanlah kepada orang yang bertakwa, jika dia menyintainya
maka dia akan memuliakannya, dan jika dia tidak menyintainya maka dia
tidak menzhaliminya.”
Islam menetapkan bahwa nafkah merupakan hak istri kewajiban suami,
walaupun istri berkecukupan dan mampu menafkahi dirinya sendiri, hal ini
tetap tidak menggugurkan haknya dalam nafkah selama istri tidak
menggugurkannya dari suaminya. Kewajiban nafkah yang harus dipikul oleh
suami ini ditetapkan oleh beberapa dalil dari al-Qur`an dan sunnah, di
antaranya adalah :
Firman Allah, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233).
Firman Allah, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(Ath-Thalaq: 7).
Sabda Nabi shallallohu 'alaihi wasallam dalam hadits Jabir bin Abdullah
yang diriwayatkan oleh Muslim, hadits haji yang panjang, beliau
menyinggung para wanita dengan sabdanya,
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ.
“Dan untuk mereka atas kalian rizki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”
Dari Hakim bin Muawiyah dari bapaknya berkata, Aku berkata, “Ya
Rasulullah, apa hak istri salah seorang diantara kami atasnya?”
Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam menjawab,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا كْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرُبِ الوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّح.
“Hendaknya kamu memberinya makan apabila kamu makan, memberinya
pakaian jika kamu berpakaian, jangan memukul wajah dan jangan berkata
kepadanya, ‘Semoga Allah memperburukkanmu’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
an-Nasa`i dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Harta terbaik yang diinfakkan oleh seseorang adalah harta yang dia
infakkan kepada keluarganya, infak kepada keluarga mengungguli
infak-infak di bidang lainnya.
وعن ابي هريرة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال
: قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ : دِيْنَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ،
وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ
عَلىَ أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلىَ أَهْلِكَ .
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam
bersabda, “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang
kamu infakkan untuk memerdekakan hamba sahaya, satu dinar yang kamu
infakkan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu infakkan kepada
keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu infakkan kepada
keluargamu.”(HR. Muslim)
Hak nafkah untuk keluarga sangat ditekankan dalam Islam, seseorang akan
memikul dosa yang tidak ringan jika dia menelantarkan orang yang
semestinya dinafkahinya.
وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رَضِيَ
اللهُ عَنْهُما قال : قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ :
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ.
Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata, Rasulullah shallallohu
'alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar
apabila dia menyia-nyiakan orang yang seharusnya dia nafkahi.” (HR. Abu
Dawud, dishahihkan oleh an-Nawawi dalam Riyadh ash-Shalihin no. 6/294).
Diriwayatkan oleh Muslim dengan maknanya, Nabi shallallohu 'alaihi
wasallam bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar jika dia
menahan nafkah orang yang wajib dia nafkahi.”
Apabila nafkah tidak diberikan sepenuhnya oleh suami kepada istri
sehingga istri dan anak-anaknya kekurangan maka istri diizinkan untuk
mengambil dari harta suaminya sebatas yang dibutuhkan dengan cara yang
ma’ruf tanpa sepengetahuan suami.
Dari Aisyah berkata, Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan datang kepada
Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, dia berkata, “Ya Rasulullah,
Abu Sufyan adalah suami yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang
mencukupiku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya
tanpa sepengetahuannya, apakah aku berdosa karena itu?” Nabi shallallohu
'alaihiu wasallam bersabda,
خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالمَعْرُوْفِ مَايَكْفِيْكِ، وَيَكْفِي بَنِيْكِ .
“Ambillah dari hartanya dengan cara yang ma’ruf apa yang mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaq alaihi).
Jika suami terbelit kesulitan sehingga dia tidak mampu memberi nafkah
kepada istri dan istri tidak rela dengan kondisi tersebut maka istri
berhak mengajukan hak fasakh pernikahan dengan alasan kesulitan suami
dalam memberi nafkah, dalam kamus fuqaha dikenal dengan al-Faskhu bil
i’sar.
Dari Said bin al-Musayyib tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki
apa yang dia nafkahkan kepada istrinya, dia berkata, “Keduanya
dipisahkan.” Diriwayatkan oleh Said bin Manshur. Dan dari Sufyan
ats-Tsauri dan Abu Zanad darinya berkata, Aku berkata kepada Said,
“Sunnah?” Dia menjawab, “Sunnah.” Ibnu Hajar berkata dalam Bulugh
al-Maram, “Ini adalah mursal yang kuat.”
Wallahu a'lam
{sumber : detakmuslim.com}
