Di antara hal yang tidak diragukan lagi karena
memang terjadi adalah bahwa setiap ayah mendambakan anak sebagai buah hati bisa
sukses dan berhasil dalam pendidikan dan sekolahnya serta kehidupannya.
Karenanya, ayah senantiasa berdo’a kepada Allah agar memberikan kemudahan dan
keteguhan bagi anak tercinta. Ayah menjanjikan hadiah dan mengabulkan keinginan
si buah hati jika lulus dalam ujian dan memberikan ancaman serta marah jika
sampai gagal dalam ujian. Perasaan seperti ini memang merupakan fitrah manusia
dan memang terjadi di antara kita.
Akan tetapi wahai Ayah yang penyayang, apakah
perhatianmu kepada si buah hati berupa perhatian penuh terhadap sekolah,
pendidikan, masa depan dan urusan dunianya itu -karena memang engkau sadar itu adalah
kewajibanmu- sama seperti perhatianmu terhadap akhirat mereka? Apakah engkau
benar-benar memikirkan dan mengkhawatirkan nasib mereka setelah mati seperti
halnya perhatianmu akan kenyamanan dan kebahagiaan hidup mereka sewaktu di
dunia? Inilah tanggung jawabmu wahai Ayah. Engkau curahkan semuanya untuk dunia
yang fana sementara engkau abaikan akhirat yang kekal selamanya. Engkau sibuk
memikirkan kehidupan mereka tapi engkau lupakan keadaan setelah matinya. Engkau
bangun bagi mereka rumah dari tanah, batu dan bata di dunia tapi engkau
haramkan mereka untuk mendapatkan rumah di akhirat yang indah bertatahkan intan
permata.
Itulah keinginanmu! Itulah angan-anganmu! Semuanya
tidak lebih dari agar anak-anakmu bisa jadi dokter, insinyur, pilot ataupun
tentara. Ya Allah! Semuanya itu hanya cita-cita dunia…..! Engkau berusaha,
bekerja membanting tulang dan bersungguh-sungguh hanya untuk dunianya… Mana
usahamu untuk akhiratnya wahai Ayah……? Fenomena ini bukanlah sesuatu yang
jarang terjadi, bahkan mayoritas manusia demikian adanya. Mereka begitu serius
berusaha mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendidikan fisik anak-anaknya.
Tetapi mereka menelantarkan pendidikan hatinya yang padahal dengannyalah
anak-anaknya bisa hidup dan bahagia atau sebaliknya binasa dan sengsara. Inilah
kenyataan!
Ayah! Mungkin engkau mengira bahwa ini hanyalah
perkataan yang tiada beralasan. Tapi jika engkau ingin bukti maka simaklah
wahai Ayah yang penyayang!
Bayangkan atau anggap anakmu terlambat mengikuti
ujian di sekolahnya. Apakah yang engkau rasakan wahai Ayah? Bukankah engkau
akan berlomba dengan waktu mengantarkan anakmu agar bisa mengikuti ujian
meskipun terlambat? Bahkan sebelumnya, bukankah engkau akan rela untuk tidur
setengah mata agar bisa membangunkan si buah hati supaya tidak terlambat?
Bukankah engkau akan melakukan segalanya agar anak tercinta yang menjadi
kebanggaanmu bisa ikut ujian tepat waktu? Saya yakin jawabannya adalah Ya.
Bukankah engkau melakukan semua itu wahai Ayah? Akuilah!!
Sekarang, apakah perasaanmu itu sama atau akan
muncul juga ketika anakmu terlambat shalat Shubuh? Apakah engkau akan berusaha
agar anakmu shalat Shubuh tepat waktu? Saya hanya berprasangka baik bahwa
engkau memang shalat Shubuh tepat waktu. Karena jika tidak, bagaimana mungkin
engkau akan membangunkan anak-anakmu sementara engkau sendiri terlambat untuk
itu?
Kemudian, bukankah engkau setiap hari senantiasa
bertanya kepada anakmu tentang sekolahnya? Apa yang dipelajari, apa yang
dilakukan, jawaban apa yang diberikan ketika ujian dan berharap jawaban itu
benar? Tetapi, apakah setiap hari engkau bertanya juga tentang urusan agamanya?
Apakah engkau bertanya sudahkah dia shalat? Dengan siapa dia duduk dan bergaul?
Tidakkah engkau bertanya apa yang dia lakukan ketika tidak di rumah, ta’at atau
maksiat?
Ayah, bukankah dadamu terasa sesak ketika tahu
bahwa si buah hati salah dalam menjawab ujian? Bukankah engkau merasa terhimpit
ketika tahu bahwa nilainya jauh di bawah sempurna bahkan rata-rata? Bukankah
engkau merasa terpukul ketika tahu bahwa dia gagal dalam ujiannya? Akan tetapi,
apakah dadamu juga terasa sesak, dadamu juga terasa terhimpit ketika tahu bahwa
anakmu sangat minim dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya terlebih
sunah-sunahnya? Tidakkah ini cukup menjadi bukti bahwa engkau lebih dan hanya
memperhatikan dunianya dan mengabaikan akhiratnya?
Ayah, engkau mengira apabila anakmu tidak lulus
ujian berarti kandas sudah cita-cita dan harapan yang ada.
Engkau menyangka
bahwa dalam hal itu tidak ada kesempatan kedua terlebih ketiga. Ketahuilah
wahai Ayah…, bahwa kegagalan yang hakiki…, kegagalan yang memang tidak ada lagi
kesempatan kedua atau ketiga untuk memperbaiki, adalah masuknya mereka ke dalam
neraka dengan api yang panas menyala-nyala. Tahukah engkau bahwa kegagalan yang
hakiki adalah penyesalan dan kerugian yang disertai adzab yang pedih lagi
menghinakan? Setelah ini akankah engkau masih beralasan bahwa kita sekarang
hidup di dunia sehinga harus fokus memikirkannya? Kalau begitu kapankah engkau
akan fokus memikirkan akhirat padahal di akhirat nanti tidak ada lagi amalan
yang ada hanyalah pembalasan?
Sungguh wahai Ayah jikalau demikian adanya -kita
berlindung kepada Allah darinya- maka tidaklah bermanfaat kesuksesan yang
diraih di dunia. Tidaklah bermanfaat ijazah, harta, istana yang megah,
kedudukan dan kekuasaan kalau ternyata catatan amal perbuatan diberikan dari
arah kirinya. Kemudian mereka akan berteriak: “Wahai alangkah baiknya kiranya
tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala
sesuatu. Hartaku sekali-sekali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang
kekuasaannku dariku.” (Al-Haqqah: 25-29)
Ah…sungguh tidak bermanfaat kekuasaanku, ilmu
duniaku, serta ijazahku. Semuanya telah hilang, semuanya lenyap…yang ada
hanyalah kerugian dan kegagalan.
Tahukah engkau apakah kerugian itu? Tahukah engkau
apakah kegagalan itu? Ya, di dunia kerugian dan kegagalan itu adalah jika
anakmu tidak bisa menjadi dokter, atau insinyur atau pilot dan guru. Akan
tetapi di akherat, yang ada hanyalah kebahagiaan atau kesengsaraan. Yang satu
berarti surga yang lainnya berarti neraka. Akankah engkau rela membiarkan
mereka mengalami kerugian dan kegagalan dalam arti kesengsaraan di dalam
neraka?
Saya tidak katakan tinggalkan anak-anakmu! Saya
tidak katakan biarkan mereka jangan diajari masalah dunia! Tidak, demi Allah,
saya tidak katakan demikian. Saya hanya katakan bahwa akherat lebih utama dan
ditekankan untuk diperhatikan, lebih serius untuk diusahakan dan lebih
bersunguh-sungguh untuk beramal meraih kebahagiaannya.
Wahai Ayah…! Siapakah di antaramu yang begitu
bersemangat bersungguh-sungguh mendatangkan seorang pendidik untuk mengajarkan
kepada anaknya Al-Qur’an dan menerangkan As-Sunnah? Sungguh sedikit sekali yang
telah berbuat demikian. Alangkah baik kiranya kalau mereka tidak memfasilitasi
anak-anaknya dengan sarana kerusakan. Akan tetapi kita lihat justru mereka
dengan jeleknya pemikiran dan kurangnya perhitungan malah mendatangkan
kejelekan bagi anak-anaknya dengan memfasilitasi dengan kendaraan-kendaraan,
sopir pribadi, pembantu (pelayan) serta memenuhi rumahnya dengan barang-barang
dan hal-hal yang diharamkan yang melalaikan dari dzikrullah dan ta’at
kepada-Nya.
Siapakah di antara kalian wahai Ayah yang
memberikan hadiah pada anaknya apabila hafal satu juz dari Al-Qur’anul Karim
atau beberapa hadits dari hadits Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam ? Sungguh
sangat sedikit sekali yang demikian ini. Kita mohon kepada Allah agar
memberkahi yang sedikit ini. Kita lihat sebagian manusia, mereka menjanjikan
pada anaknya apabila lulus ujian akan diajak pesiar menyusuri pantai yang indah
atau wisata ke mancanegara, apakah Eropa atau Amerika, serta mereka menjanjikan
dibelikan mobil agar bebas mengukur jalan. Namun adakah di antara meraka yang
menjanjikannya untuk diajak umrah atau haji dan mengunjungi masjid Nabi ShallallaHu
‘alaiHi wa sallam?
Setelah semua itu, tahukah engkau wahai Ayah apakah
buah dari hasil pendidikan seperti itu? Tahukah engkau apakah hasil dari
pendidikan yang mengabaikan masalah akhirat tersebut? Hasilnya adalah Al-Qur’an
berganti menjadi majalah, siwak berganti menjadi rokok dan lebih parah lagi
mereka akan hidup tidak ubahnya binatang ternak. Tahukah engkau apa di antara
yang membedakan kita dari binatang ternak? Kita diberikan fasilitas untuk
mengerti bahwa dunia hanyalah sementara. Kita mengetahui bahwa ada kehidupan
yang kekal selamanya. Maka selayaknyalah kita untuk berusaha menggapai
kebahagiaan di sana.
Tetapi apabila tidak demikian maka tidaklah beda dengan binatang bahkan lebih
sesat karena kita diberi fasilitas sedangkan mereka tidak. “Mereka seperti
binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai.”
(Al-A’raf: 179)
Di samping memperhatikan pekembangan fisik anak,
kita juga harus memperhatikan pendidikan akal dan hati mereka. Kita harus
memikirkan nasib mereka setelah matinya.
Langkah pertama
untuk itu adalah kita perbaiki terlebih dahulu diri kita, karena dengan baiknya
diri kita maka mereka akan ada di atas keteguhan dan kekokohan serta ada di
dalam penjagaan Allah swt. Allah berfirman:”Ayah mereka berdua adalah orang
yang shalih” (Al-Kahfi: 82)
Kedua,
kita jadikan bimbingan dan pengajaran Islam sebagai tujuan. Tidak ada halangan
untuk belajar dan mempelajari ilmu-ilmu dunia akan tetapi tidak sebesar
perhatiannya terhadap akhirat. Allah berfirman:”Dan carilah apa yang
telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu lupakan nasib (bagian)mu dari (keni’matan) dunia.” (Al-Qashash:
77)
Wahai Ayah! Maka takutlah engkau kepada Allah pada
apa yang menjadi tanggunganmu karena engkau akan diminta pertanggujawabannya di
hadapan Allah. Takutlah engkau kepada Allah bahwasanya Allah telah memberikan
anak sebagai amanat kepadamu tapi engkau justru membukakan pintu-pintu
kejelekan bagi mereka. Allah mengamanatimu tapi engkau malah menyibukkan mereka
dengan film-film, sinetron-sinetron, perangkat-perangkat kekejian,
majalah-majalah porno dan semisal dengan itu. Jika demikian adanya berarti
engkau telah mengkhianati amanat yang dipikulkan kepadamu dan engkau telah
menipu mereka yang menjadi tanggunganmu. Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam
bersabda:”Tidaklah seseorang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin
rakyatnya (tanggungannya) kemudian dia mati dalam keadaan menipu mereka,
melainkan Allah haramkan baginya surga.” (Bukhari Muslim)
Ayah….! Jika engkau memang sayang pada buah hatimu,
tidak ingin menipu mereka dan juga tidak ingin mengkhianati amanat yang
dipikulkan di pundakmu, maka kemarilah! Kemarilah untuk sama-sama menyimak
wasiat Luqman kepada anaknya. Wasiat seorang ayah yang yang sangat menyayangi
anaknya dan menebusnya dengan sangat mahal dan berharga. Tahukan engkau apakah
dia mewasiatinya dengan dunia? Apakah dia mewasiatinya dengan intan permata dan
segala perhiasan kemewahan lainnya? Tidak, bahkan dia mewasiati anaknya dengan
apa yang akan menjadikannya ada dalam kehidupan yang baik. Kehidupan yang akan
menyelamatkannya dari adzab Allah yang pedih. Sungguh Allah telah mengabadikannya
dalam Al-Qur’an. Pernahkah engkau mendapatinya? Tahukah engkau apakah wasiatnya
itu?
Adalah Luqman Al-Hakim dengan kasih sayang yang
begitu besar kepada anaknya, dia berwasiat agar jangan berbuat syirik, yakni
menyekutukan Allah Ta'ala. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, waktu dia memberikan nasihat kepadanya: ‘Wahai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
sebesar-besar kezhaliman.” (Luqman: 13)
Ya… adakah kezhaliman yang lebih besar dari syirik? Itulah apa yang dikhawatirkan Luqman pada anaknya sehingga mewasiati agar jangan sampai terjatuh ke dalamnya. Adakah engkau pernah menyampaikan ini pada anakmu?
Kemudian, beliau dengan segenap kasih sayangnya
menunjukkan pada anaknya apa yang akan menyelamatkan anaknya dari adzab Allah
yaitu dengan menghadap kepada-Nya melalui shalat, memerintahkan yang ma’ruf
serta mencegah dari yang munkar. Adakah engkau demikian wahai ayah? Saya
berharap engkau sudah memenuhi semuanya sehingga hanya tinggal menyampaikannya
kepada anakmu. Karena jika tenyata engkaupun belum demikian…maka ini adalah
mushibah dari sebenar-benar mushibah, dan kita berlindung darinya.
Setelah itu, Luqman mewasiati anaknya agar berhias
dengan akhlaq yang mulia yang akan mengangkat jiwanya dan akan tinggi
derajatnya. Janganlah sombong dan menghina sesama. Sederhanalah dalam berjalan
dan lunakkanlah suara dalam pembicaraan. “Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai.” (Luqman: 19)
Inilah wahai Ayah, sejumlah wasiat dari ayah yang
begitu sangat menyayangi dan mendambakan kebahagian bagi si buah hati.
Pernahkah engkau menyampaikannya pada anakmu, sebagiannya atau bahkan
seluruhnya..?!
Ada fenomena yang sangat
kita sesali dan kita keluhkan semuanya kepada Allah, yakni sebagian ayah
berusaha mematahkan semangat anaknya dan menghalangi kesungguhannya ketika
melihat bahwa Allah telah memberikan hidayah kepadanya untuk mendalami dan
mengamalkan ilmu agama. Bahkan di antara mereka ada yang sampai menghasut dan
menakut-nakuti serta menebar was-was. Mereka mengatakan bahwa belajar agama
hanya akan mengikat kebebasan jiwa. Mereka juga mencela dan juga
memperolok-oloknya, sehingga tidak tahu lagi apakah yang dicela itu adalah
orangnya atau agama yang dibawanya. Ketika didapati anaknya memanjangkan
janggut maka dikatakan seperti kambing. Ketika anaknya berusaha mengenakan
pakaian di atas mata kaki maka dikatakan takut cacing dan lain sebagainya. Maka
apakah ini perlakuannmu terhadap apa yang menjadi amanatmu? Apakah ini yang
engkau nasihatkan kepada mereka?
Takutlah engkau kepada Allah! Takutlah bahwasanya
Allah sentiasa mengawasi bagaimana engkau mendidik mereka. Ajarilah mereka apa
yang bermanfaat baginya dari urusan agama dan dunianya. “Dan
tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidaklah kamu memahaminya!”(Al-An’am:32)
Ayah….! Engkau telah menyiapkan anakmu untuk
menghadapi ujian dunia. Maka takutlah kepada Allah dan ketahuilah olehmu serta
beritahukanlah kepada anak-anakmu bahwa barang dagangan Allah (surga) jauh
lebih berharga dan lebih mahal dari perhiasan dunia. Dan ajarkanlah serta
beritahukanlah mereka bahwa kesuksesan yang hakiki ada pada membatasi diri pada
apa yang Allah ridlai. Beritahukanlah kepada mereka dan ketahui olehmu juga
bahwa kebahagiaan yang hakiki ada pada taqwa dan ta’at kepada Allah.
Serta ketahuilah olehmu bahwa kaki seorang hamba
tidak akan bergeser sejengkalpun dari posisinya pada hari kiamat dan akan
diadukan kezhalimannya oleh orang yang pernah dizhaliminya. Anak akan senang
bisa mendapatkan ayahnya untuk mengadukan kezhaliman yang pernah dilakukannya,
demikian juga istrinya. Pada hari kiamat nanti anak-anak akan membantah dan
menyalahkan ayah-ayah mereka dengan berkata: “Wahai Rabb kami, ambil
lah hak kami pada ayah kami yang zhalim ini. Dia telah menyebabkan kami tidak
melakukan apa yang Engkau ridlai. Dialah yang telah mendidik kami tidak ubahnya
binatang ternak. Dialah yang mendatangkan berbagai hal yang membinasakan dan
tidaklah ada satu kerusakan melainkan didatangkannya ke hadapan kami.” Maka
apakah yang nanti akan engkau katakan untuk menjawab semuanya itu wahai Ayah
yang penyayang, yang begitu “sayang”nya sehingga menjerumuskan anaknya pada kebinasaan?
Bahkan pada akhirnya nanti sama-sama ada dalam kebinasaan. “Yaitu pada hari
dimana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’araa’:
88-89)
Maka di manakah hartamu? Di manakah anak yang
engkau banggakan itu? Mereka justru menyalahkanmu dan menyeretmu untuk ikut
merasakan panas neraka karena engkaulah yang punya andil besar untuk itu. Kita
berlindung kepada Allah dari semua itu dan memohon agar Allah menunjukkan kita
kepada kebaikan dan memberikan kekuatan dan kemudahan untuk menempuhnya serta
dimatikan di atasnya, serta kita memohon kepada-Nya agar menyelamatkan kita,
keluarga serta anak keturunan kita dari adzab-Nya yang pedih. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Terakhir wahai Ayah! Bertaqwalah engkau kepada
Allah. Takutlah Engkau kepada-Nya pada apa yang engkau lakukan untuk anakmu.
Perbaikilah pendidikan mereka! Jagalah mereka dari segala kerusakan dan
kealpaan dalam segala kebaikan. Lakukanlah sejak sekarang selama mereka masih
ada di hadapan kalian. Selama kalian masih bisa bersungguh-sungguh
mengusahakan. Lakukanlah segera sebelum kalian hanya bisa melakukan celaan dan
penyesalan yaitu pada hari dimana tidak akan bermanfaat lagi celaan dan penyesalan.
Dan Allah lah tempat kita meminta perlidungan dan pertolongan.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah lah pahala yang besar.”
(At-Thagaabun: 15)
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6)
*Ditulis oleh salah seorang ikhwan -semoga Allah
membalasnya dengan surga Firdaus
